Pages

Rabu, 23 Mei 2012

valuata asing menurut fikih



A.  Valuta Asing
Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperti dolar Amerika, Poundsterling Inggris, Euro, dollar Australia, Ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing sebagai alat pembayaran luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri.
Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.

B.  Valuta Asing Dalam Perspektif Islam
Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul masail fiqhiyah; kapita selecta hukum islam, diperoleh bahwa forex (perdagangan valas) diperbolehkan dalam hukum islam.perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. perdagangan (ekspor-impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul perbandingan nilai mata uang antar negara.
Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:
1.      Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas danar baru Irak dengan kertas dinar lama.
2.      Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dalar dengan Pound Mesir.
3.      Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4.      Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.
5.      Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.
6.      Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu

Praktek valuta asing hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dam Islam berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.
Di samping firman Allah di atas, hadis Rasulullah juga mengatakan bahwa: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian”. (HR. Bukhari).
“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.
“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar”.
Dari beberapa Hadist di atas dipahami bahwa hadist pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya valuta asing serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba al-fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadist ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya valuta asing, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) itu harus dilakukan sama-sama tunai serta tidak melebihkan antara suatu barang dengan barang yang lain dalam mata uang yang sejenis. Begitu juga pertukaran antara dua jenis mata uang yang berbeda, hukumnya mubah. Bahkan tidak ada syarat harus sama atau saling melebihkan, namun hanya disyaratkan tunai dan barangnya sama-sama ada.



C.  Norma-Norma Syariah
Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma syariah, antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu perdagangan valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut ;
1.      Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
2.      Motif pertukaran adalah untuk kegiatan bisnis sektor riil, yaitu transaksi barang dan jasa, bukan dalam rangka spekulasi.
3.      Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya, si A setuju membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
4.      Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak uang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5.      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli).
Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut, terdapat beberapa tingkah laku perdagangan valas yang harus diperhatikan : 1. Ekonomi syariah menghindari dan melarang perdagangan tanpa penyerahan (future non delivery trading atau margin trading). 2. Ekonomi syariah melarang tegas jual beli valas untuk kepentingan spekulasi. 3. Harus dihindari jual beli valas, baik dalam bentuk spot maupun forward. 4. Ekonomi syariah juga melarang transaksi swap. Berjanji untuk menukar mata uang asing dengan mata uang setempat pada waktu tertentu dan dengan harga yang ditetapkan, hukumnya jaiz.
D.  Larangan Spekulasi Valas
Sekali lagi ditegaskan bahwa pertukaran mata uang atau jual beli valas untu kebutuhan sektor riil, baik transaksi barang maupun jasa, hukumnya boleh (jaiz) menurut hukum Islam. Namun, bila motifnya untuk spekulasi, sebagaimana yang banyak terjadi saat ini, maka hukumnya haram.
Argumentasi dan dasar pemikiran larangan perdagangan spekulasi valas untuk spekulasi, dirumuskan dalam bentuk poin di bawah ini :
o  Pendapat Mahathir Muhammad, PM Malaysia, Mahathir Muhammad dikenal luas sebagai orang yang mengecam keras praktik perdagangan valas (Margin trading valas). Larangan keras ini didasarkan pada sejumlah alasan :
1)      Berdagang valuta asing ini tidak ubahnya seperti judi, karena dalam transaksinya penuh dengan spekulasi. 2. Konstribusi margin trading sangat signifikan terhadap melemahnya rupiah atas dollar AS. Sedangkan melemahnya rupiah atas dollar merupakan bencana bagi ekonomi Indonesia. 3. Praktik margin trading biasanya tidak mengindahkan fair bussines. 4. Karena tidak ada proses transaksi riel, para pelaku hanya mengandalkan selisih dari harga valuta pada saat penutupan.
2)      Uang bukan komuditas. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas, telah dijadikan sebagai komoditas.
o  Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam buku An-Nizham al –Iqtishadi al-Islami,mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada barang dan jasa (199-297). Demikian pula Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku ‘ Ilajul Musykilah al-Iqtishadi bil Islam, memandang uang sebagai medium of  exchange.
o  Pakar ekonomi Islam sepakat, bahwa perdagangan spekulasi valuta telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia dan senantiasa mengancam ekonomi banyak negara. Oleh karena itu praktik spekulasi valas harus dilarang.
o  Menurut ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jada di luar negeri, sebagaimana yang dibutuhkan para jamaah haji, dan sebagainya.
o  Perdagangan valas dalam kegiatan spekulasi adalah sebuah transaksi maya (semu), karena padanya tidak terdapat jual beli sektor riil. Dalam perdagangan valas, yang diperjualbelikan adalah uang itu sendir, bukan barang atau jasa.
o  Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang atau jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Selisih dan tambahan (gain) yang diperoleh dan jual beli itu termasuk kepada riba. Karena gain itu diperoleh bighairi ‘iwadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.
o  Tegasnya, gain (harga beli lebih besar dari harga jual) yang diperoleh dalam perdagangan valas adalah riba. Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS. 2 : 275-279), pada hakikatnya, merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “Allah menghalalkan jual beli (sektor riil), dan mengharamkan riba (transaksi maya).
E.  Dampak Spekulasi Perdagangan Valas
1)        Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, antara lain menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual-beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai uang rupiah, karena para spekulan sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara tajam.
2)        Dampak lain transaksi maya dalam perekonomian ialah terjadinya ketidakseimbangan arus moneter dengan arus finansial. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara.
3)        Perdagangan mata uang (valas) secar signifikan menimbulkan kerawanan krisis bagi suatu negara. Karena itulah, maka konferensi tahunan Asociation of Muslim scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 28/DSN-MUI/III/2002
Tentang
JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)


FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS (FOREX)

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).

Menimbang :
a.       Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
b.       Bahwa dalam 'urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
c.        Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. Mengingat :
-      " Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: "...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..."
-      " Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa'id al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)' (HR. al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
-      " Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.".
-      " Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: "(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.".
-      " Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.
-      " Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
-      " Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: "Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
-      " Ijma. Ulama sepakat (ijma') bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.
Memperhatikan :
1.     Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2.     Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)
Pertama : Ketentuan Umum:
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1.       Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
2.       Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3.       Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
4.       Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
1.       Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.
2.       Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3.       Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4.       Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).


Sumber :
-         Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 28/DSN-MUI/III/2002
-         http://www.agustiantocentre.com/?p=396, diakses 15 Mei 2012
http://pkbh.uad.ac.id/hukum-jual-beli-valuta-asing-dan-saham

pemindahan utang (hawalah)


Pengalihan Utang (Hawalah)


A.  Definisi Pengalihan Hutang
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-inqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
لغة : النقل من محل إلى محل
Menurut bahasa adalah  pemindahan dari satu tempat ke tempat lain. 
Pengertian Hiwalah secara istilah:
1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah: 
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Menurut Bank Indonesia (1999), hawalah adalah akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal’alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhal’alaih. Muhal’alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.
Fuqaha berpendapat bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan suatu muamalah memandang persetujuan kedua belah pihak diperlukan.
Fuqaha yang menempatkan kedudukan orang yang menerima perpindahan utang terhadap orang yang dipindahkan piutangnya sama dengan kedudukan orang yang dipindahkan piutangnya terhadap debitur (orang yang memindahkan utang) tidak memegangi persetujuan orang yang menerima perpindahan utang bersama orang yang dipindahkan piutangnya, seperti ia juga tidak memegangi persetujuan itu bersama orang yang memindahkan utang (debitur) manakala ia meminta haknya dan tidak memindahkannya kepada seseorang.
Hiwalah sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab dab qabul dan menjadi sah dengan sikap yang menunjukkan hal tersebut seperti : "Aku hiwalahkan kamu", "Aku ikutkan kamu dengan hutangku padamu kepada si Fulan", dan lain-lainnya.
B.   Landasan Hukum
1. Al-Qur’an
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu ber mu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang  penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut). (HR Jama’ah)
Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang di antara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pemindahan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR Ahmad & Baihaqi)
3. Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan

C.  Jenis Hiwalah
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian :
1.      Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a)    Hiwalah al-haqq  yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menun-tut hutang (pemindahan hak).
b)   Hiwalah al-dain 
yaitu apabila yang dipindahkan itukewajiban untuk membayar hutang (pemin-dahan hutang/kewajiban).
c)    Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
-     Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hu-tang muhil (pihak pertama)  kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat)
Contoh :
A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B berpiutang kepada C se-besar  5 dirham. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya untuk me-nuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembaya-ran hutang B kepada A.
Dengan demikian hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakanhiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah al-dain karena B mengalihkan kepada A menjadi kewajibanC kepada A (pemindahan hutang/kewajiban).
-     Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan seba-gai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak).
Contoh :
A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menye-butkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembaya-ran hutang C kepada A.
Dengan demikian, hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah al-dain saja karena yang dipindahkan hanya hutang Akepada B menjadi hutang C kepada B.
D.  Rukun Hawalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari mu-hal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 :
1.      Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
2.      Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
3.      Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
4.      Ada piutang muhil kepada muhal
5.      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6.      Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku hiwalah kan utang-ku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
E.  Syarat Hiwalah
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkai-tan dengan muhil (pihak pertama),  muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan  dengan hu-tang tersebut.
1.      Syarat bagi muhil (pihak pertama) adalah :
a)    Baligh dan berakal
Hiwalah  tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti -(mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b)   Ridha
Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad terse-but tidak sah.
2.      Syarat bagi muhal (pihak kedua) adalah :
a)    Baligh dan berakal
b)   Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah (madz-hab Hanafi, sebagian besarmadzhab Maliki dan Syafi’i)
Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Sedangkan menerima pelunasan itu merupakan hak muhal.
Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, muhal dapat saja merasadirugikan, contohnya apabila ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar hutang tersebut.
1.      Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah :
a)    Baligh dan berakal
b)   Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian persetujuan tidak merupakan syarat sahhiwalah.
c)    Syarat yang diperlukan bagi hutang yang dialihkan adalah :
-          Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudahdalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
-          Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah, semua ula-ma fikih sepakat bahwa baik hutang muhil kepa-da muhal maupun muhal ‘alaih -kepada muhil harus sama jumlah dan kualitasnya.
Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka hawalah tidak sah.
Tetapi apabila pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah(madzhab Hanafi) maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baikjumlah maupun kualitasnya.
2.      Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.
F.   Beban Muhil Setelah Hawalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

G.  Akad Hiwalah Berakhir
Akad hawalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut :
1.      Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akadhiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2.      Muhal melunasi hutang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih
3.      Jika muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4.      Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada muhal.
5.      Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untukmembayar hutang yang dialihkan tersebut.
6.      Menurut madzhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhikarena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi maka akad hiwalah tidak dapat berakhir dengan mengalami alasan pailit.

Sumber :
·         Suhendi,Hendi. Fikih Muamalah. Jakarta : Raja Gravindo, 2010
 

Sample text

Sample Text