Pages

Rabu, 23 Mei 2012

barang temuan / al-Luqathah


BARANG TEMUAN

A.      Pengertian
Barang temuan dalam bahasa arab disebut dengan al-Luqathah, menurut bahasanaya berarti “sesuatu yang ditemukan atau di dapat”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.
B.       Hukum pengambilan barang temuan
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut:
1.         Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuannya itu dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
2.         Sunnat, yakni sunnat mengambil benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu percaya pada dirinya bahwa ia akan mampu memelihara benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
3.         Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memelihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil benda-benda tersebut.
4.         Haram, bagi orang yan menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak mampu memelihara harta tersebut dengan sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda tersebut.
C.      Rukun Luqotoh
Rukun-rukun dalam Luqtoh ada dua, yaitu:
1.      Orang yang mengambil (yang menemukan)
2.      Benda-benda atau barang yang diambil

D.      Macam-macam Benda Temuan
Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:
1.    Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak, pisau, gergaji dan yang lainnya.
2.    Benda-benda yang tidak tahan lama, umpanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang dijual atau dimakan.
3.    Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
4.    Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut al-Dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.
Adapun binatang-binatang yang ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
a)         Binatang yang kuat, yakni binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan binatang buas, umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan cara melawan ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil hanya untuk dijaga saja, kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah tanggungan pengambil.
b)        Binatang-binatang yang tidak dapat menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas, baik karena tidak mampu melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak kambing dan anak sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik untuk dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk memintanya, maka wajib dikembalikan hewannya atau harganya.
E.       Menyikapi Barang Temuan (LUQATHAH)
Apabila kita secara tidak sengaja menemukan uang tergeletak di jalan, maka kewajiban kita adalah mengumumkan temuan itu agar pemiliknya yang merasa kehilangan bisa mendapatkan haknya kembali. Dalam bahasa fiqih, kasus yang terjadi pada anda itu disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus dilakukan. Bila Menemukan Barang Hilang, Apa Yang Harus Dilakukan?
1.    Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang itu bila barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka hukumnya haram.
2.    Al-Malikiyahmengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk menyimpannya.
3.    Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari kehilangan.
4.    Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya.
Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang / Harta Yang Hilang. Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ”Umumkanlah selama masa waktu setahun.” Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya. Bila Tidak Ada Yang Mengakui?
Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya.
F.       Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun atau satu tahun.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan ‘Aunul Ma’bud V: 118 no: 1685).
Dari ‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” 
a)      Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
 Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat). 
Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.
b)      Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang Yang Sepele 
Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan, dan barangsiapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 86 no: 2431, Muslim II: 752 no: 1071 dan ’Aunal Ma’bud V: 70 no: 1636.
c)      (Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram 
Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak sepertiluqathah di daerah lainnya; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1751, Irwa-ul Ghalil no: 1057 dan Fathul Bari IV: 46 no: 1833).
G.      Bayi Yang Ditemukan (Laqith)
1.      Pengertian, Laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang didapati di jalan, atau yang tersesat di jalan, atau yang tidak diketahui nasabnya.
2.      Hukum Menemukan Laqith
Memungut laqith hukumnya adalah fardhu kifayah, berdasar firman Allah swt:
“Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS al-Maidah: 2)
3.      Keislaman Laqith Serta biaya Hidupnya
Apabila Laqith ditemukan di negeri Islam, maka dianggap sebagai orang muslim, dan dihukumi sebagai orang yang merdeka di mana pun ia ditemukan, karena pada asalnya anak cucu Adam adalah merdeka. Jika ia disertai dengan harta, maka biaya hidupnya diambilkan darinya. Jika tidak, maka biaya penghidupannya diambil dari baitul mal (kas negara): 
Dari Sunain Abi Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim berkata: Saya pernah mendapatkan anak kecil tersesat lalu saya bawa Umar bin Khatthab. Kemudian Uraifi berkata, ”Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya ia adalah seorang laki-laki yang shalih.” Lantas Umar bertanya, ”Apakah ia memang begitu?” Jawab Uraifi, ”Ia betul.” Kemudian Umar berkata, ”(Wahai Salim), bawalah ia pergi, dan ia sebagai orang merdeka, dan ia harus berwali kepadamu, sedangkan biaya hidupnya tanggungan kami.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1573, Muwathta’ Imam Malik hal. 524 no: 1415 dan Baihaqi VI: 201).
4.      Pihak Yang Berhak Menjadi Ahli Waris Laqith
Apabila laqith meninggal dunia dan ia meninggalkan harta warisan, namun tidak meninggalkan ahli waris, maka harta warisannya menjadi hak milik baitul mal, demikian pula diyatnya bila ia dibunuh.
5.      Pengakuan Senasab Dengan Laqith
Barangsiapa, baik laki-laki maupun perempuan, mengaku punya hubungan nasab (keturunan) dengan laqith, maka harus dihubungkan dengannya, selama hubungan nasab itu memungkinkan. Jika yang mengaku punya hubungan nasab dengannya dua orang atau lebih, maka seharusnya dihubungkan dengan orang yang membawa bukti bahwa dirinya memiliki hubungan nasab dengan silaqith. Jika tidak mempunyai bukti yang kuat, maka dipaparkan kepada orang yang ahli mengenali nasab-nasab dengan adanya kemiripan. Kemudian dihubungkan dengan orang yang menurut ahli penyelidik nasab bahwa anak kecil tersebut sebagai anaknya.
Dari Aisyah ra, katanya: Nabi saw pernah masuk (ke rumah) menemuiku dalam keadaan riang gembira, lalu bersabda, “Tidaklah engkau tahu bahwa Mujazar al-Madlaji tadi melihat Zaid dan Usamah, dan keduanya telah menutup kepalanya sementara kaki mereka terbuka.” Lalu ia berkata,“Sesungguhnya empat kaki ini, sebagiannya berasal dari sebagian yang lainnya (memiliki kemiripan dengan sebagian yang lain).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 56 no: 6771, Muslim II: 1081 no: 1459, ‘Aunul Ma’bud VI: 357 no: 2250, Tirmidzi III: 293 no: 2212 dan Nasa’i VI: 184).
Jika ternyata ahli penyelidik nasab berpendapat, bahwa laqith tersebut adalah memiliki hubungan nasab dengan kedua orang yang mengaku mempunyai hubungan nasab dengannya, maka harus dihubungkan dengan keduanya:
Dari Sulaiman bin Yasar, dari Umar tentang seorang perempuan yang digauli oleh dua orang laki-laki ketika dalam keadaan suci, maka sang ahli penyelidik nasab berkata, “Dalam hal anak kecil ini kedua laki-laki itu bersekutu.” Kemudian Umar menjadikan (nasabnya) di antara mereka berdua. (Shahih: Irwa-ul Ghalil 1578 dan Baihaqi X: 263).

Sumber :
·         Hendi Suhendi, Fikih Muamalah (Jakarta : Raja Gravindo, 2010)
http://www.syariahonline.com/v2/zakat/2636-menyikapi-barang-temuan-luqathah.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text