Pages

Rabu, 23 Mei 2012

ghasab


GHASAB

A.      Definisi Ghasab
1.      Ulama Mazhab Maliki: mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)
2.      Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali: penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.
3.      Mazhab Hanafi: mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
Dari definisi tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ulama jelas terlihat bahwa
1.      Bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Zufar bin Hudail), ghasab harus bersifat pemindahan hak seseorang menjadi milik orang yang menggasab.
2.      Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan ghasab apabila sifatnya tidak pemindahan hak milik.
3.      Jumhur Ulama: menguasai milik orang lain saja sudah termasuk ghasab, apalagi bersifat pemindahan hak milik.
Akibat dari perbedaan definisi ini akan terlihat pada tiga hal :
a. Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
1.      Imam Hanafi dan Abu Yusuf: ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak mungkin terjadi ghasab. Seperti rumah dan tanah
2.      Jumhur Ulama: ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak. Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun secara manfaat.
b. Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.
1.      Imam Hanafi dan Abu Yusuf : hasil dari benda yang diambil merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab) maka ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.
2.      Jumhur Ulama: Jika pengghasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang yang dighasabnya maka ia dikenakan denda
c. Manfaat dari benda yang di Ghasab.
Selain ghashab diharamkan maka pemanfatan hasil ghashab pun ikut haram, ia berkewajiban untuk mengembalikannya walaupun sedang dikelola, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan hasil tanamannya dalah dipecah satu untuk pemilik dan satu untuk perampas. Dan jika benda yang dighashab rusak maka perampas wajib mengagntinya senilai dengan barang yang di rampasnya baik dilakukan sendiri maupun akibat factor lain.
Pendapat para ulama tentang manfaat dari benda yang di Ghasab :
1.      Mazhab Hanafi: manfaat barang yang dighasab tidak termasuk sesuatu yang digasab. Karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta bagi mereka. Seperti : menggasab sandal kemudian dikembalikan lagi
2.      Jumhur Ulama: Manfaat itu termasuk dalam definisi harta. Oleh sebab itu dikenakan denda jika barang yang digasab tersebut dimanfaatkan orang yang menggasabnya.
Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas terlihat jelas bahwa ghasab tidak sama dengan mencuri, karena mencuri dilakukan secara sembunyi sedangkan ghasab dilakukan secara terang-terangan dan sewenang-wenang. Bahkan ghasab sering diartikan sebagai menggunakan/memanfaatkan harta orang lain tanpa seijin pemiliknya, dengan tidak bermaksud memilikinya.
Contoh : si A mengambil sajadah si B dengan tidak bermaksud memilikinya tetapi memanfaatkannya untuk shalat. Setelah itu dikembalikan lagi ke tempat semula.
Ghasab tidak hanya untuk harta benda saja tetapi juga kemanfaatan orang lain seperti menyuruh pergi dari tempat duduknya dan contoh yang sering dijumpai yakni memakai ataupun meminjam sandal orang lain tanpa ada izin.
Kita tak pernah menyangka ternyata perbuatan sekecil itu dilarang oleh agama. Memang mudah sekali untuk berbuat serta mengumoulkan dosa, tetapi untuk mencegahnya serta menghapusnya sulit sekali. Hawa nafsulah penyebabnya makanya cobalah untuk melawan hawa nafsu.
Bagi orang yang ngasab dalam bentuk harta maka wajib baginya untuk mengembalikan harta tersebut ke pemiliknya, jika barang tersebut telah kurang, rusak, hilang maka penggasab wajib mengganti dengan barang yang sama ataupun berupa uang yang jumlahnya sama seperti barang tersebut. Dengan demikian ghosib bisa terhindar dari larangan dan dosa.
Sekalipun tujuannya adalah baik, tetapi karena memanfaatkan barang orang lain tanpa ijin itu adalah perbuatan tercela dalam islam.
B.       Dasar Hukum Ghasab
1. Surat An Nisa ayat 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Surat Al Baqarah 188
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ

Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3. Sabda Rasulullah
-     Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)
-     Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.
C.      Hukuman orang yang Ghasab
·         Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
·         Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya.
·         Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
Mazhab Hanafi dan Maliki
·         Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab.
·         Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
·         Mazhab Syafi’i denda sesuai dengan harga yang tertinggi
·         Mazhab Hanbali  denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.
{ Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya
·         Mazhab Hanafi  orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.
·         Mazhab Syafii dan Hanbali orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.
·         Mazhab Maliki  orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
·         Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah
 Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)
D.      Benda ghashab terdapat pada seseorang
Jika seseorang melihatnya benda yang dirampas darinya di pegamng orang lain atau dimilki orang lain maka ia berhak untuk mengambilnya kembali sekalipun perampas telah menjual barang hasil rampasan tersebut, karena ketika waktu akad orang yang menjual barang rampasan belum sah atas barang tersebut maka hal ini menjadikan batalnya akad tersebut, dan secara otomatis tidak terjadi yang namanya jual beli.
E.       Sulitnya Menghindari Gasab
Sulitnya menghindari Ghasab dalam kehidupan sehari-hari kita,karena terkadang tanpa kita sengaja kita melkukan perbuatan Ghasab itu sendiri. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari sebagai Santri yang tinggal di Asrama suatu Pondok pesantren Ghasab sudah menjadi realita. Pertama, hidup dalam “satu atap” membuat perbuatan gasab hampir sulit dihindari. Kedua, gasab hampir menjadi hal yang wajar (naudzubillah). Ghasab juga paling sering ditemui pada suatu lingkup tempat tinggal dalam lingkungan sedang atau besar misalnya: selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN),perkemahan outbond (Camping), Rumah susun,Asrama dll.
Menurut hukum Fiqih Ahlussunah, perbuatan ghasab tersebut adalah dosa dan haram tapi tidak membatalkan salatnya (Al-Fiqh ‘alâ Al-Madzâhib Al-Khamsah). Istilahnya adalah harâm lî ghairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia.
Bagi orang yang mengghasab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya, meskipun ghasib(orang yang melakukan ghasab) itu terkena tanggungan (mengganti) dengan berlipat ganda harganya. juga wajib bagi nya untuk menambah kekurangannya. jika memang terdapat kekurangan pada harta yang di ghasab. seperti contoh orang yang mengghasab pakaian kemudian dia memakainya, atau harta itu berkurang tidak karena dipakai.maka wajib memberikan biaya yang sama. sedangkan jika maghsub (barang yang di ghasab) itu berkurang sebab harganya menjadi turun, menurut pendapat yang shahih, ghasib tidak wajib menanggung nya.
Di dalam sebagaian keterangan dijelaskan bahwa siapa saja yang mengghasab harta seseorang, maka dia harus dipaksa untuk mengembalikannya. apabila barang yang di ghasab itu rusak, maka ghasib wajib menanggungnya dengan jumlah yang sama dengan barang yang di ghasab tersebut. adapun yang lebih sah bahwa barang itu adalah barang - barang yang dapat di ukur dengan takaran atau timbangan (dapat di ukur dengan nilai).
Harga maghsub dapat berbeda beda dengan bentuk harga yang lebih tinggi dari hari pada saat barang tersebut di ghasab sampai pada hari kerusakan barang yang di ghasab. ghasib (orang yang meng-ghasab) dapat menjadi bebas setelah mengembalikan barang maghsub (barang yang di ghasab) kepada pemiliknya dan cukup meletakkan di sebelah pemiliknya. apabila di lupa siapa pemiliknya, maka cukup dengan menyerahkannya kepada Qodli. (hakim)


Sumber :
Suhendi,Hendi. Fikih Muamalah. Jakarta : Raja Gravindo, 2010

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text