Pages

Rabu, 23 Mei 2012

pemindahan utang (hawalah)


Pengalihan Utang (Hawalah)


A.  Definisi Pengalihan Hutang
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-inqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
لغة : النقل من محل إلى محل
Menurut bahasa adalah  pemindahan dari satu tempat ke tempat lain. 
Pengertian Hiwalah secara istilah:
1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah: 
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Menurut Bank Indonesia (1999), hawalah adalah akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal’alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhal’alaih. Muhal’alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.
Fuqaha berpendapat bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan suatu muamalah memandang persetujuan kedua belah pihak diperlukan.
Fuqaha yang menempatkan kedudukan orang yang menerima perpindahan utang terhadap orang yang dipindahkan piutangnya sama dengan kedudukan orang yang dipindahkan piutangnya terhadap debitur (orang yang memindahkan utang) tidak memegangi persetujuan orang yang menerima perpindahan utang bersama orang yang dipindahkan piutangnya, seperti ia juga tidak memegangi persetujuan itu bersama orang yang memindahkan utang (debitur) manakala ia meminta haknya dan tidak memindahkannya kepada seseorang.
Hiwalah sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab dab qabul dan menjadi sah dengan sikap yang menunjukkan hal tersebut seperti : "Aku hiwalahkan kamu", "Aku ikutkan kamu dengan hutangku padamu kepada si Fulan", dan lain-lainnya.
B.   Landasan Hukum
1. Al-Qur’an
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu ber mu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang  penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut). (HR Jama’ah)
Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang di antara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pemindahan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR Ahmad & Baihaqi)
3. Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan

C.  Jenis Hiwalah
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian :
1.      Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a)    Hiwalah al-haqq  yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menun-tut hutang (pemindahan hak).
b)   Hiwalah al-dain 
yaitu apabila yang dipindahkan itukewajiban untuk membayar hutang (pemin-dahan hutang/kewajiban).
c)    Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
-     Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hu-tang muhil (pihak pertama)  kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat)
Contoh :
A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B berpiutang kepada C se-besar  5 dirham. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya untuk me-nuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembaya-ran hutang B kepada A.
Dengan demikian hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakanhiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah al-dain karena B mengalihkan kepada A menjadi kewajibanC kepada A (pemindahan hutang/kewajiban).
-     Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan seba-gai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak).
Contoh :
A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menye-butkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembaya-ran hutang C kepada A.
Dengan demikian, hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah al-dain saja karena yang dipindahkan hanya hutang Akepada B menjadi hutang C kepada B.
D.  Rukun Hawalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari mu-hal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 :
1.      Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
2.      Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
3.      Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
4.      Ada piutang muhil kepada muhal
5.      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6.      Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku hiwalah kan utang-ku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
E.  Syarat Hiwalah
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkai-tan dengan muhil (pihak pertama),  muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan  dengan hu-tang tersebut.
1.      Syarat bagi muhil (pihak pertama) adalah :
a)    Baligh dan berakal
Hiwalah  tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti -(mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b)   Ridha
Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad terse-but tidak sah.
2.      Syarat bagi muhal (pihak kedua) adalah :
a)    Baligh dan berakal
b)   Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah (madz-hab Hanafi, sebagian besarmadzhab Maliki dan Syafi’i)
Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Sedangkan menerima pelunasan itu merupakan hak muhal.
Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, muhal dapat saja merasadirugikan, contohnya apabila ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar hutang tersebut.
1.      Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah :
a)    Baligh dan berakal
b)   Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian persetujuan tidak merupakan syarat sahhiwalah.
c)    Syarat yang diperlukan bagi hutang yang dialihkan adalah :
-          Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudahdalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
-          Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah, semua ula-ma fikih sepakat bahwa baik hutang muhil kepa-da muhal maupun muhal ‘alaih -kepada muhil harus sama jumlah dan kualitasnya.
Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka hawalah tidak sah.
Tetapi apabila pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah(madzhab Hanafi) maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baikjumlah maupun kualitasnya.
2.      Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.
F.   Beban Muhil Setelah Hawalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

G.  Akad Hiwalah Berakhir
Akad hawalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut :
1.      Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akadhiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2.      Muhal melunasi hutang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih
3.      Jika muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4.      Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada muhal.
5.      Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untukmembayar hutang yang dialihkan tersebut.
6.      Menurut madzhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhikarena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi maka akad hiwalah tidak dapat berakhir dengan mengalami alasan pailit.

Sumber :
·         Suhendi,Hendi. Fikih Muamalah. Jakarta : Raja Gravindo, 2010

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text