Pages

Senin, 14 Mei 2012

jual beli salam




1.    Pengertian Salam
Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka.
Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.

2.    Landasan Syariah Salam
a)      Al-Qur'an  (Al-Baqarah 2: 282).
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (Al-Baqarah 2: 282).

b)      Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata, "Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui."

3.    Operasional Salam
Syarat utama salam adalah barang atau hasil produksi yang akan diserahkan kemudian tersebut dapat ditentukan spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Apabila ternyata nantinya barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan di awal maka nasabah harus bertanggung jawab dengan cara menyediakan barang sejenis yang sesuai dengan spesifikasi atau mengembalikan seluruh uang yang telah diterima.
Contohnya petani tembakau membutuhkan uang saat ini sedangkan panen belum tiba, maka petani tersebut dapat meminta kepada Bank Syariah untuk membeli hasil panen yang akan datang dan bank akan menjualnya kembali kepada petani tersebut dengan cicilan yang disepakati dalam jangka waktu tertentu. Tentunya Bank Syariah akan menerapkan persentase keuntungan tertentu sesuai kesepakatan.
Contoh lainnya, petani tembakau ingin menjual hasil panennya 2 bulan mendatang kepada pedagang. Dalam hal ini katakan pedagang belum memiliki uang. Maka kedua pihak tersebut dapat pergi ke Bank Syariah dan mengajukan pembiayaan salam. Bank Syariah akan memberikan uang tunai kepada petani tembakau dan pedagang tersebut memiliki utang kepada Bank Syariah dan sesuai dengan kesepakatan akan dicicil dan dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Bank akan menambahkan sejumlah persentase keuntungan yang disepakati.

4.    Rukun salam:
a)      Muslam atau pembeli
b)      Muslam ilaih atau penjual
c)      Ra’sul mal atau modal/uang
d)     Muslam fiihi atau barang
e)      Sighat atau ucapan/akad

5.    SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM
a)    Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya.
b)   Syarat Kedua: Dilakukan Pada Barang-barang yang Memiliki Kriteria Jelas
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud. Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya: kulit binatang[3], sayur mayur dll, maka tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع الغرر. رواه مسلم
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan."(Riwayat Muslim)

c)    Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan
Dari hadits di atas, dapat dipahami pula bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang dimaksud, tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang.
Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras, karena–sebagaimana diketahui bersama-harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR. 
Sebagaimana beras hasil panen 5 tahun lalu –biasanya- lebih murah bila dibanding dengan beras hasil panen tahun ini. Beras grade 1 lebih mahal dari grade 2, dan beras yang dihasilkan di daerah Cianjur, lebih mahal dari beras hasil daerah lainnya.
Adapun jumlah barang, maka pasti mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda:
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Bila warna barang memiliki pengaruh pda harga barang, maka warnapun harus disepakati kedua belah pihak. Misalnya kendaraan, harganya selain dipengaruhi oleh hal-hal diatas, juga dipengaruhi oleh warnanya. Kendaraan berwarna putih lebih murah dibanding dengan yang berwarna metalik atau yang serupa. Karenanya, bila seseorang memesan kendaraan ia harus menentukan warna kendaraan yang diinginkan.
d)   Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan
Tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati –menurut kebanyakan ulama'- haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
"Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Sebagai contoh: Bila A memesan kepada B, 1 ton beras jenis cisedani, hasil panen tahun ini, dan mutu no. 1,  maka keduanya harus menyepakati tempo/waktu penyediaan beras, dan tempo tersebut benar-benar mempengaruhi harga beras, misalnya 2 atau 3 bulan.
Akan tetapi bila keduanya menyepakati tempo yang tidak berpengaruh pada harga beras, misalnya: 1 atau 2 minggu atau kurang, atau bahkan tidak ada tempo sama sekali, maka - menurut jumhur ulama'- akad mereka berdua tidak dibenarkan.
e)    Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nyata diharamkan dalam syari'at Islam.
Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur ghoror (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار. رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني
"Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
f)    Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha.
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha dikarenakan suatu hal tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Sebagai contoh: Bila seorang pedagang memesan gabah kepada seorang petani dengan kriteria yang telah disepakati, maka pada akad salam ini, petani tidak boleh dibatasi ruang kerjanya, yaitu dengan menyatakan: gabah yang didatangkan harus dari hasil ladang miliknya sendiri. Akan tetapi petani harus diberi kebebasan, sehingga ketika jatuh tempo, ia berhak menyerahkan gabah dari hasil ladang sendiri atau dari hasil ladang orang lain, yang telah ia beli terlebih dahulu .

6.    Salam paralel:
Karena yang dibeli oleh Bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan Bank tidak berniat untuk menjadikannya sebagai inventory, dilakukanlah akad salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang dikenal sebagai Salam Paralel
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
-        Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
-        Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

7.    Fatwa DSN tentang Salam
§  Fatwa 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam

Dewan Syari’ah Nasional setelah,

Menimbang :
a.       bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b.       bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan syari’ah.
Mengingat :
a.       Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...".

b.       Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
c.        Hadis Nabi saw.:
 “Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
d.       Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:
"Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
e.        Hadis Nabi riwayat jama’ah:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
f.        Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
 “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
g.        Hadis Nabi riwayat Tirmizi:
 “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
h.       Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
i.         Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari
Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
Dewan Syariah Nasional MUI
1.     Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.     Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.     Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1.     Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.     Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.     Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.     Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.     Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.     Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel ( :(السلم الموازي
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1.     Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2.     Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3.     Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4.     Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5.     Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text