Pages

Rabu, 23 Mei 2012

kredit menurut fikih



KREDIT


A.      Pengertian
Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memiliki dengan ucapan ataupun perbuatan. Adapun kredit yang dalam bahasa arab disebut تقسيط dalam pengertian bahasa adalah bagian, jatah atau membagi-bagi
Dalam Mu’jamul Wasith 2/140 dikatakan : “Mengkredit hutang artinya adalah membayar hutang tersebut dengan cicilan yang sama pada beberapa waktu yang ditentukan.”
Adapun pengertian jual beli kredit secara istilah adalah menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan .
Atau mungkin bisa dikatakan bahwa jual beli kredit adalah :
“Pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.”
Yang dhohir -Wallohu A’lam- bahwa definisi yang kedua lah yang lebih tepat karena inti dari jual beli kredit adalah pembayaran yang tertunda dengan cara cicilan, bisa dengan adanya tambahan harga ataupun tidak, meskipun memang biasanya jual beli kredit itu memang dengan adanya tambahan harga dari yang kontan.
B.       Hukum Jual beli kredit
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini menjadi dua pendapat, yaitu :
1. Jual beli kredit di haramkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Imam Al Albani yang beliau cantumkan dalam banyak kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid beliau Syaikh Salim Al Hilali dalam Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah 2/221 dan juga lainnya. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut :

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : ” أنه نهى عن بيعتين في بيعة

Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.”(HR. Turmudli 1331, Nasa’I 7/29, Amad 2/432, Ibnu Hibban 4973 dengan sanad hasan)
Tafsir dari larangan Rosululloh “Dua transaksi jual beli daam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”

Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan seseorang : “Saya jual barang ini padamu kalau kontan harganya sekian dan kalau ditunda pembayarannya harganya sekian.” Adalah sistem jual beli yang saat ini dikenal dengan nama jual beli kredit.
2. Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat yang kedua mengatakan bahwa jual beli kredit diperbolehkan, diantara yang berpendapat demikian dikalangan para ulama’ adalah :
  • Firman Alloh Ta’ala :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4.. ÇËÒÈ
 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’ : 29)
Keumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.
  • Hadits Rosululloh :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة والناس يسلفون في الثمر العام والعامين فقال : من سلف في تمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh dartang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda : “Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.” (HR. Bukhori 2241, Muslim 1604)
Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rosululloh membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam uang untuk membeli itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada barangnya. Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga kontan.
  • Hadits Bariroh :

عن عائشة رضي الله عنهه قالت : أن بريرة جاءت عائشة تستعينها في كتابتها ولم تكن قضت من كتابتها شيئا فقالت لها عائشة : ارجعي إلى أهلك فإن أحبوا أن أقضي عنك كتابتك ويكون ولاؤك لي فعلت, فذكرت ذلك بريرة لأهلها فأبوا وقالوا إن شاءت أن تحتسب عليك فلتفعل ويكون لنا ولاؤك فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : ابتاعي فأعتقي فإنما الولاء لمن أعتق ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما بال أناس يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فليس له وان شرط مائة مرة شرط الله أحق وأوثق
Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayarnya sama sekali, Maka Aisyah berkata padanya : “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka ingin agar saya bayar tebusanmu namun wala’mu menjadi milikku maka akan saya lakukan.” Maka Bariroh menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka berkata : “Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala’mu tetap pada kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini pada Rosululloh dan beliu pun bersabda : “Belilah dia dan merdekakanlah karena wala’ itu kepunyaan yang memerdekakan.”
Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.” (HR. Bukhori 2169, Muslim 1504)
Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa Bariroh membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.
  • Dalil Ijma’
Sebagian Ulama’ mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan harga adalah kesepakatan para ulama’. Di antara mereka adalah :
a.    Syaikh Bin Baz saat menjawab pertanyaan tentang hukum menjual karung gula dan sejenisnya seharga 150 real secara kredit, yang nilainya sama dengan 100 real tunai. Maka beliau menjawab :
“Transaksi seperti ini boleh-boleh saja, karena jual beli kontan tidak sama dengan jual beli berjangka. Kaum muslimin sudah terbiasa melakukannya sehingga menjadi ijma’ dari mereka atas diperbolehkannya jual beli seperti itu. Sebagian ulama’ memang berpendapat aneh dengan melarang pemanmbahan harga karena pembayaran berjangka, mereka mengira bahwa itu termasuk riba. Pendapat ini tidak ada dasarnya, karena transaksi seperti itu tidak mengandung riba sedikitpun.”
(Lihat Ahkamul Fiqh oleh Syaikh Abduloh Al Jarulloh hal : 57-58)
b.   Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin 
Beliau berkata dalam Al Mudayanah hal : 4 :
“Macam-macam hutang piutang :
·         seseorang membutuhkan untuk membeli barang namun dia tidak mempunyai uang kontan, maka dia membelinya dengan pembayaran tertunda dalam tempo tertentu namun dengan adanya tambahan harga dari harga kontan. Ini diperbolehkan. Misalnya : Seseorang membeli rumah untuk ditempati atau untuk disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana seandainya dijual kontan akan seharga 9.000 real, atau seseorang membeli mobil baik untuk dipakai sendiri atau disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana harga kontannya adalah 9.000 real. Masalah ini tercakup dalam firman Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang sampai waktu tertentu, maka catatlah.” (QS. Al Baqoroh : 282)
·         Seseorang membeli barang dengan pembayaran tertunda sampai waktu tertentu dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Misal seseorang membeli gandum dengan pembayaran tertunda dan lebih banyak dari harga kontan untuk menjualnya lagi ke luar negeri atau untuk menunggu naiknya harga atau lainnya, maka ini diperbolehkan karena juga tercakup dalam ayat terdahulu. Dan telah berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyah tentang dua bentuk ini adalah diperbolehkan berdasarkan Al Kitab, as sunnah dan kesepakatan ulama’ (4) (Lihat Majmu’ Fatawa 29/499).”
  • Dalil qiyas
Sebagaimana yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan dengan jual beli salam yang dengan tegas diperbolehkan Rosululloh, karena ada persamaan, yaitu sama-sama tertunda. hanya saja jual beli salam barangnya yang tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam tidak sama dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih murah sedangkan kredit lebih mahal.
  • Dalil Maslahat
Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga, dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang memang didasarkan pada kemaslahatan ummat. Berkata Syaikh Bin Baz disela-sela jawaban beliau mengenai jual beli kredit :
“Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan tambahan harga dengan penundaan tersebut. Sementara pembeli senang karena pembayarannya diperlambat dan karena ia tidak mampu mambayar kontan , sehingga keduanya mendapatkan keuntungan.” (Ahmkamul Ba’I disusun oleh Syaikh Jarulloh hal : 58)
C.      Fatwa para ulama’ seputar jual beli kredit
Ini adalah nukilan pendapat fuqoha’ madhab empat juga para ulama’ kontemporer mengenai masalah ini :
1.      Fiqh Hanafiyah
Harga bisa dinaikkan karena penundaan waktu. Penjualan kontan dengan kredit tidak bisa disamakan. Karena yang ada pada saat ini lebih bernilai dari pada yang belum ada. Pembayaran kontan lebih baik dari pada pembayaran berjangka. (Lihat Badai’ush Shona’I 5/187)
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 5/142 : “Bisa saja harga ditambahkan karena penundaan pembayaran.”
2.      Fiqh Malikiyah
Berkata Imam Asy Syathibi :
“Penundaan salah satu alat tukar bisa menyebabkan pertambahan harga.” (Lihat Al Muwafaqot 4/41)
Imam Az Zarqoni menegaskan :
“Karena perputaran waktu memang memiliki bagian nilai, sedikit atau banyak, tentu berbeda pula nilainya. (Lihat Hasyiyah Az Zarqoni 3/165)
3.      Fiqh Syafi’iyah
Imam Asy Syirozi berkata :
“Kalau seseorang membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda, tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena penundaan pembayaran memang memiliki nilai tersendiri.” (Lihat Al Majmu An Nawawi 13/16)
4.      Fiqh Hanbali
Imam Ibnu Taimiyah berkata :
“Putaran waktu memang memiliki jatah harga.” (Majmu’ Fatawa 19/449)
Lajnah Daimah tatkala ditanya tentang seseorang yang menjual mobil dengan sistem kredit yang dengan tertundanya pembayaran akan ada tambahan harga, namun juga akan semakin bertambah dengan semakin mundurnya pembayaran dari waktu yang telah ditentukan. Apakah transaksi ini boleh ataukah tidak ?
Jawab :
Jika menjual mobil tersebut dengan sistem kredit, dilakukan dengan harga yang jelas, sampai waktu yang jelas, yang tidak ditambah harga lagi kalau membayarnya lebih dari batas waktu yang ditentukan, maka transaksi itu tidak mengapa. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang sampai waktu tertentu, maka tulislah.” Juga yang telah shohih dari Rosululloh bahwasannya beliau pernah membeli sesuatu sampai waktu tertentu. Adapun kalau si kreditor itu harus menambah harga apabila terlambat membayarnya dari waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan kesepakatan ummat islam, karena itulah riba jahiliah yang dilarang oleh Al Qur’an, yaitu ucapan mereka kepada yang berhutang padanya : “Kamu mungkin bisa melunasi hutang itu atau kamu tambah lagi bayarannya.” (Lihat Fatwa Lajnah Daimah 13/154)
Beberapa hal yang berkaitan dengan jual beli kredit, Ada beberapa hal yang erat kaitannya dengan jual beli kredit, kita sebutkan yang kami anggap paling penting :
  • Jual beli kredit harus dengan barang dan harga yang jelas serta waktu pembayaran yang jelas.
    Sebagaimana nash Rosululloh dalam masalah salam :
“Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”
(HR. Bukhori 2241, Muslim 1604)
Kalau tidak ada kejelasan dalam sistem kredit, maka transaksi menjadi haram karena ada unsur jahalah (ketidak jelasan dalam sebuah transaksi) (Lihat fatwa lajnah Daimah 13/154)
  • Bila si pembeli tidak bisa melunasi ?

عن عمرو بن الشريد عن أبيه قا : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : “لي الواجد يحل عرضه و عقوبته

Dari Amr bin Syarid dari bapaknya berkata : “Rosululloh bersabda : “Orang kaya yang enggan membayar hutang boleh dilecekan kehormatannya dan dihukum”
(HR. Nasa’I 7/317, Ibnu Majah 2427 dengan sanad hasan)
Hadits ini adalah ansh tentang bolehnya memberikan hukuman kepada orang kaya yang mangkir dari hutangnya, yang termasuk di dalamnya adalah persoalan kredit.
Fenomena yang kita lihat pada praktek jual beli kredit yang ada di negeri kita bagi yang tidak melunasi cicilannya adalah diambilnya kembali barang yang sudah dibeli oleh penjual tanpa ada ganti rugi kepada pihak pembeli atau mungkin dengan cara di perpanjang waktu pembayaran dari waktu yang telah ditentukan namun ditambah harga barang. Apakah kedua hukuman ini diperbolehkan ataukah tidak ?
Untuk yang pertama yaitu mengambil kembali barang tersebut oleh penjual, maka ini adalah kedholiman, namun yang bisa dilakukan adalah menjual sebagian harta pembeli untuk melunasi hutangnya tersebut. Sebagaiman hukum yang ada dalam maslah pergadaian.
Untuk yang kedua yaitu menunda waktu pembayaran namun ditambah harga. ini juga tidak boleh karena inilah riba jahiliyah, lihat kembali fatwa lajnah daimah diatas.
-        Syaikh Al Jibrin berkata :
Adapun masalah yang ketiga, yaitu denda finansial karena keterlambatan membayar cicilan yang dilakukan oleh kreditor kaya dan berkemampuan, kami tegaskan bahwa tidak boleh menambah jumlah hutang sebagai kompensasi keterlambatan membayar cicilan. Karena itulah yang biasa dilakukan oleh masyarakat jahiliyah, apabila pembayaran hutang tertunda. Mereka mengatakan : “Silahkan bayar sekarang, kalau tidak maka kalian harus menambah bunganya.” Jumlah hutang tersebut bertambah, karena terlambat dilunasi, sehingga jumlah hutang tersebut menjadi berlipat ganda. Itulah pengertian firman Alloh :
-        “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba secara berlipat ganda.”(QS. Ali Imron : 130)
-        Lalu Alloh memerintahkan mereka mengambil pokok hartanya saja, dalam firman Nya :“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu.” (QS. Al Baqoroh : 279)
-        Demikian dijelaskan oleh Alloh Ta’ala hingga firman Nya :
-        “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia punya kelapangan.” (QS. Al Baqoroh : 280)
-        Akan tetapi apabila kreditor tersebut memang tidak mau melunasi hutangnya layak mendapatkan hukuman fisik. Dasarnya adalah hadits :
-        “Orang kaya yang enggan membayar hutang boleh dilecekan kehormatannya dan dihukum” artinya orang seperti ini boleh diadukan ke pengadilan dan dipenjara.” (Lihat jual beli secara kredit hal : 162)
oleh karena itu hukuman yang mungkin bisa dilakukan adalah :
  • Menyita harta kreditorArtinya mencegah seseorang peminjam untuk mengoperasikan hartanya.” (Lihat Al Mughni 6/593)Berkata Imam Al Hasan Al Bashri :
    “Apabila seseorang bankrut dan sudah jelas kebangkrutannya, maka dia tidak boleh membebaskan budaknya, menjualnya atau membeli budak lainnya.
(Lihat Shohih Bukhori kitab zakat)
  • Penjara
    Al Hafidl Ibnu Hajar mengomentari hadts di atas dengan mengatakan :
“Riwayat ini dijadikan dalil disyariatkannya memenjarakan orang yang tidak mau membayar hutang sementara ia mampu melunasinya, sebagai pelajaran dan hukuman keras terhadapnya.”
(Fathul Bari 5/76)
  • Yang ketiga dari beberapa hukum kredit : Barang yang tidak boleh menjual belikannya dengan sitem kredit.
    Masalah ini sangat erat hubungannya dengan masalah riba nas’iah, Syaikhuna Abu Muhammad Aunur Rofiq Ghufron –semoga Aloh selalu menjaga beliau- sudah pernah membahasnya dengan panjang lebar pada Al Furqon edisi 7 tahun kedua, maka cukup saya disini mengisyaratkan pada hadits yang menjadi nash masalah ini.
Dari Ubadah bin Shomit berkata :
“Rosululloh bersabda : “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jemawut denga jemawut, kurma denga kurma, garam engan garam, harus dilakukan dengan takaran yang sama atau ukuran yang sama secara kontan dari tangan ke tangan. Apabila yang ditukar berlainan jenisnya, maka jual lah sekehendak kalian asalkan tetap secara kontan dari tangan ke tangan.”
(HR. Muslim 1587)
Keenam barang ini dan yang sejenisnya adalah yang tidak diperbolehkan kredit dan harus secara kontan. Yang kemudian lebih dikenal dengan istilah barang-barang ribawi.
D.      Kartu Kredit (Charge Card)
Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak kelebihan, selain urusan gengsi.
-     Pertama, masalah keamanan.
Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan, kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang, seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik kartu tersebut akan diblokir.
-     Kedua, masalah kepraktisan.
Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah yang besar tentu sangat tidak praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa membawa uang dalam jumlah besar hanya dalam sebuah kartu. Ketiga, masalah akses. Beberapa toko dan perusahaan tertentu hanya menerima pembayaran melalui kartu kredit. Misalnya toko online di internet yang sangat mengandalkan pembayaran dengan kartu kredit. Kita tidak bisa membeli sebuah produk di amazon.com dengan mengirim wessel pos.
Kartu kredit (Inggris; credit card, Arab; bithaqah i’timan) yang dalam Islamic finance dikenalkan istilah Islamic card atau shariah card di dunia yang menuju less cash society pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang beresiko. 
Dalam beberapa literatur fiqih kontemporer, status hukumnya sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi. Oleh karena itu berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah. Sementara dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72). Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetapi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah-sah saja. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Di samping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu.(Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang. Hal ini berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan preventif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud
DSN-MUI dalam fatwanya menetapkan hukum bahwa Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa. Ketentuan Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah; a. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah). b. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu. c. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
DSN-MUI mengatur batasan penggunaan Syariah Card sebagai berikut ; a. Tidak menimbulkan riba, b. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, c. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan, d. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya, e. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
E.       Bisakah Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ?
Pernahkah anda mendapati masalah bahwa salah seorang anggota keluarga meninggal dunia, dan anda di haruskan menanggung hutang kartu kreditnya? Apakah tagihan kartu kredit harus dibayar oleh anak/cucu dari pemegang kartu kredit walaupun pemegang kartu kredit telah meninggal dunia?
Tagihan kartu kredit merupakan hutang atau kewajiban pemegang kartu kredit yang harus dibayarkan kepada bank. Hutang ini dapat diwariskan apabila pemegang kartu kredit meninggal dunia. Berdasarkan hukum perdata berlaku Pasal 833 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.
Namun, Pasal 1045 KUHPerdata menyatakan bahwa tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.Penolakan warisan ini harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara memberikan pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri (lihat Pasal 1057 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata).
Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Termasuk pembayaran tagihan kartu kredit.
Sedangkan, bagi pewaris dan ahli waris yang beragama Islam, berlaku hukum Islam sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang juga mengatur mengenai hukum pewarisan. Mengenai kewajiban dari ahli waris untuk melunasi hutang-hutang dari pewaris dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 171 huruf e KHI yang menyatakan bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Apabila disimpulkan, menurut ketentuan tersebut berarti pemenuhan kewajiban pewaris didahulukan sebelum harta warisan dibagikan kepada para ahli warisnya.
Jadi, berdasarkan hukum perdata maupun hukum Islam, hutang pewaris (dalam hal ini tagihan kartu kredit) tetap harus dibayarkan oleh ahli waris apabila ahli waris menerima pewarisan dari pewaris.


Sumber :
Suhendi,Hendi. Fikih Muamalah. Jakarta : Raja Gravindo, 2010


1 komentar:

  1. Halo Setiap tubuh,

    Nama saya adalah Ibu Monica Roland. Saya tinggal di London Inggris dan saya seorang wanita senang hari ini? dan saya mengatakan kepada diri saya bahwa setiap pemberi pinjaman yang menyelamatkan keluarga saya dari situasi kita miskin, saya akan merujuk setiap orang yang mencari pinjaman kepadanya, dia memberi saya kebahagiaan bagi saya dan keluarga saya, saya sedang membutuhkan pinjaman sebesar $ 250,000.00 untuk memulai hidup saya seluruh karena saya seorang ibu tunggal dengan 3 anak-anak saya bertemu takut orang yang jujur dan ALLAH pemberi pinjaman yang membantu saya dengan pinjaman Dolar AS $ 250.000,00, ia adalah seorang ALLAH takut, jika Anda membutuhkan pinjaman dan Anda akan membayar kembali pinjaman silahkan menghubungi dia katakan padanya bahwa Ibu Monica Roland yang merujuk Anda kepadanya. hubungi Mr Mr James Tulang melalui email: (bestloansfinance02@gmail.com)

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text